Sebab-Sebab Yang Mendatangkan Rezki

Makalah singkat: menjelaskan sebab-sebab yang mendatangkan rezki yang Allah SWT terangkan bagi hamba-hambanya, diantaranya adalah: bertakwa kepada Allah SWT, istigfar dan taubat, tawakal, silaturahim, infak di jalan Allah SWT, berbuat baik kepada orang-orang lemah dll.
Segala puji bagi Allah semata, salawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhamad, keluarga dan sahabatnya.
Akhir-akhir ini banyak orang mengeluhkan rezki cupet, hilangnya keberkahan, beratnya beban hidup dengan segala kebutuhanya. Mencari rezki dan penghidupan menjadi tema yang cukup menyita fikiran dan menggelisahkan kebanyakan mereka, hingga mereka menempuh berbagai jalan dalam memperolehnya, ada yang mencuri, menjalankan praktek riba, menyogok, ada juga yang berprilaku munafik dan menipu, menumpahkan darah, memutuskan silaturahim dan meninggalkan ketaatan kepada Allah SWT, dan sebagainya, kesemua itu dilakukan demi penyesuaian dengan lingkungan dan memenuhi tuntutan jiwa, keluarga dan keturunan.
Mereka lupa bahwasanya Allah SWT telah menggariskan serta menjelaskan sarana-sarana yang dapat mendatangkan rezki bagi hamba-hambanya, Dia menjanjikan bagi orang yang komitmen denganya akan diberikan keluasan rezki, menjamin baginya kesuksesan dan keselamatan dari segala yang tidak diinginkan, memberinya serta rezki dari jalan yang tidak terduga.
Dan berikut ini beberapa sebab yang mendatangkan rezki:
Pertama: bertakwa kepada Allah SWT.
Allah SWT menjadikan takwa termasuk diantara sebab yang mendatangkan rezki dan menambahkanya, 

Dia berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً . وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ


“ Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezki dari arah yang tidak ia duga“ ( QS: Ath-Thalak: 2-3). Maka barang siapa yang bertakwa kepada Allah dan senantiasa berada dalam keridloanya dalam seluruh kondisinya, maka Dia akan memberinya balasan di dunia dan akhirat, dan diantara balasan-Nya adalah: Dia menjadikan baginya jalan keluar dan solusi dari segala kesulitan dan kesusahan, serta memberinya rezki dari arah yang tidak diduga dan disadari.
Ibnu katsir mengatakan: “ maksud ayat di atas adalah: barang siapa bertakwa kepada-Nya dengan menjalankan apa yang Dia perintahkan, meninggalkan apa yang Dia larang, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar dari permasalahanya dan mengkaruniakan rezki dari arah yang tidak ia duga atau tidak terlintas dalam benaknya“.
Ibnu Abas r.a. mengatakan: “ Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, yaitu dengan melepaskanya dari kesulitan di dunia dan akhirat, dan memberinya rezki dari arah yang tidak ia duga, yakni arah yang tidak pernah ia harapkan atau ia angan-angankan.
Allah SWT berfirman:


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون


Imam As-Sa’di mengatakan: “ Kalau sekiranya penduduk negeri beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar yang dibuktikan dengan amal perbuatan, menggunakan ketakwaan mereka kepada Allah secara zahir maupun batin dengan meninggalkan segala yang diharamkan, niscaya Allah SWT akan membukakan bagi mereka pintu-pintu keberkahan dari langit maupun bumi, Dia akan menurunkan hujan deras bagi mereka, menumbuhkan segala yang dibutuhkan mereka dalam hidup dan dibutuhkan hewan-hewan mereka, sehingga mereka berada dalam kehidupan yang makmur dan penuh dengan rezki, tanpa merasakan keletihan dan kesusahan“.
Akan tetapi apa gerangan takwa yang Allah SWT jadikan sebab bagi datangnya rezki, dan mengabarkan bahwa Dia akan memberi pelakunya rezki dari arah yang tidak terduga?
Takwa adalah anda membuat pelindung dan penghalang antara diri anda dan apa yang membahayakan anda, yaitu menjalankan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Dia larang, Dia tidak mendapatkanmu sedang menjalankan larangan-Nya, dan tidak pula kehilanganmu saat datang perintah-Nya, Syi’armu adalah perintah dan larangan-Nya. Begitulah ungkapan para salafusalih dalam mendefinisikan dan menjelaskan makna takwa.
Ibnu mas’ud mendefinisikan takwa, ia mengatakan: “ Hendaklah Allah SWT ditaati tidak di maksiati, diingat tidak dilupakan, dan disyukuri tidak dikufuri“.
Ibnu abas r.a. mengatakan: ” Orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa menghindarkan dirinya dari siksa Allah akibat meninggalkan petunjuk-Nya, serta mengharap rahmat-Nya dalam beriman kepada apa yang Dia turunkan.
Talq bin Habib mengatakan: “ Takwa adalah anda melakukan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari-Nya seraya mengharap pahala-Nya, dan meninggalkan kemaksiatan kepada-Nya diatas cahaya dari-Nya seraya takut akan siksanya “.
Abu Hurairah pernah ditanya tentang takwa, maka ia mengatakan: “ Apakah kamu pernah melewati jalan yang dipenuhi duri?, dijawab: ya, ia berkata: apa yang kamu lakukan?, dijawab: jika aku melihat duri aku menghindarinya atau melangkahinya, atau meninggalkanya, abu Hurairah berkata: itulah takwa“. Itulah makna yang dikatakan Ibnu Al-Mu’tamir:
Tinggalkan dosa yang kecil maupun yang besar itulah takwa
Jadilah seperti orang yang berjalan di jalanan yang dipenuhi duri maka ia waspada terhadap seluruh yang ia lihat
Janganlah kamu meremehkan dosa kecil sesungguhnya gunung itu terbentuk dari kerikil
Maka selayaknya bagi kamu wahai saudaraku tercinta jika kamu menginginkan keluasan rezki dan kemakmuran hidup untuk bertakwa kepada Allah SWT dalam setiap urusanmu, dalam rumah tanggamu, pekerjaanmu, keluarga dan anakmu, dan hendaklah kamu menjaga dirimu dari segala dosa, menjalankan perintah Tuhanmu, menjauhi larangan-laranga-Nya, memelihara diri dari perbuatan yang dapat mendatangkan siksa-Nya dalam bentuk melakukan kemungkaran atau meninggalkan kebajikan.
Kedua: Istigfar dan taubat
Diantara sebab-sebab yang mendatangkan rezki adalah istigfar dan taubat, Allah SWT berfirman seraya mengabarkan tentang Nuh as, bahwasanya ia berkata kepada kaumnya:



فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً (10) يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً (11) وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَاراً

“ Maka aku berkata (kepada mereka),“ mohonlah ampunan kepada tuhanmu, sungguh Dia maha pengampun, niscaya dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu“. (QS: Nuh: 10-12).
Imam Qurtubi mengatakan: “ Di dalam ayat ini dan di dalam surat Hud terdapat dalil yang menunjukan bahwa istigfar menjadi sarana untuk meminta turunnya rezki dan hujan“.
Ibnu Katsir mengatakan:“ yakni jika kalian bertaubat kepada-Nya, beristigfar dan mentaati perintah-Nya, niscaya Dia akan memperbanyak rezki untuk kalian, menurunkan hujan dari keberkahan langit, menumbuhkan tumbuhan dari keberkahan bumi, menghidupkan tanaman, memperbanyak susu hewan-hewan perahan kalian dan menyokong kalian dengan harta dan keturunan, menjadikan untuk kalian kebun-kebun yang di dalamnya terdapat beraneka ragam buah-buahan serta mengalirkan sungai-sungai di dalamnya“.
Mut’rif meriwayatkan dari As-Sya’bi bahwa Amirul mukminin Umar r.a. keluar meminta hujan dengan orang-orang, maka beliau tidak lebih dari mengucapkan istigfar hingga pulang, beliau ditanya: kami tidak mendengar engkau mengucapkan doa minta hujan, umar menjawab: aku meminta hujan dengan majadih langit yang dapat menjadi sebab diturunkanya hujan, kemudian beliau membaca:


فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً


“ Maka aku berkata (kepada mereka),“ mohonlah ampunan kepada tuhanmu, sungguh Dia maha pengampun, niscaya dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu.( QS: Nuh: 10-12).
Seseorang pernah mengadukan kekeringan kepada Hasan Al-Bashri, maka beliau mengatakan: “ beristigfarlah kepada Allah “, dan seseorang yang lain mengadukan kepadanya tentang kekeringan pada kebunya, maka beliau mengatakan: “ beristigfarlah kepada Allah “, terkait hal tersebut mereka mengatakan: orang-orang datang kepadamu mengadukan berbagai macam perkara, lalu engkau memerintahkan semuanya untuk beristigfar, beliau berkata: aku tidak mengatakan sesuatu dari diriku sendiri, sesungguhnya Allah SWT berfirman dalam surat Nuh:


فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّاراً . يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَاراً


“ Maka aku berkata (kepada mereka),“ mohonlah ampunan kepada tuhanmu, sungguh Dia maha pengampun, niscaya dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu“. (QS: Nuh: 10-12).

Allah SWT berfirman tentang Hud, bahwa ia berkata kepada kaumnya:


وَيَا قَوْمِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَاراً وَيَزِدْكُمْ قُوَّةً إِلَى قُوَّتِكُمْ وَلا تَتَوَلَّوْا مُجْرِمِينَ


“ Dan (Hud berkata), “ wahai kaumku! Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya dia menurunkan hujan yang sangat deras, dia akan menambah kekuatan di atas kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling menjadi orang yang berdosa.“ (QS: Hud: 52).
Ibnu katsir berkata: “ Hud a.s. memerintahkan kaumnya agar beristigfar yang dapat menghapus dosa-dosa yang terdahulu, dan memerintahkan agar bertaubat atas apa yang akan datang, dan barang siapa memilki sifat ini. Maka Allah SWT akan mempermudah rezkinya dan semua urusanyan, serta menjaga keadaanya.“
Allah SWT berfirman:


وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعاً حَسَناً إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنِّي أَخَافُ عَلَيْكُمْ عَذَابَ يَوْمٍ كَبِيرٍ


“ Dan hendaklah kamu memohon ampunan kepada Tuhanmu dan bertaubat kepada-Nya, niscaya dia akan memberi kenikmatan yang baik kepadamu sampai waktu yang telah ditentukan. Dan Dia akan memberi karunia-Nya kepada setiap orang yang berbuat baik. Dan jika kamu berpaling, maka sungguh, Aku takut kamu akan ditimpa azab pada hari yang besar (kiamat). (QS: Hud:3).
Di dalam ayat ini Allah SWT menjanjikan kepada orang-orang yang beristigfar kepada-Nya dan bertaubat akan diberikan kenikmatan yang baik, yaitu keluasan rezki dan kemakmuran hidup, dan Dia menetapkan itu sebagai bentuk balasan atas syaratnya, yaitu istigfar dan taubat.
Rasulullah saw bersabda:: 


مَن أكثر الاستغفار جعل الله له من كل همَّ فرجاً، ومن كل ضيق مخرجاً، ورزقه من حيث لا يحتسب ( رواه أحمد وأبو داود وصحح إسناده الشيخ أحمد شاكر) 


“ Barang siapa memperbanyak istigfar, maka Allah SWT akan menjadikan kelapangan baginya dari setiap kecemasan dan jalan keluar dari setiap kesulitan serta memberinya rezki dari arah yang tidak ia duga ” (HR: Ahmad dan Abu Dawud, dan sanadnya disahihkan oleh syekh Ahmad Syakir).
Wahai saudaraku yang tercinta, istigfar yang dapat mendatangkan rezki, memperbanyak dan mengundang keberkahan baginya serta meninggalkan bekas yang mendalam di hati adalah sesuatu yang hati dan lisan berpadu dalam menyuarakan, pelakunya tidak berketetapan hati dalam melakukan dosanya. Adapun orang yang beristigfar dengan lisanya sedang ia berketetapan hati untuk melakukan dosanya, maka ia adalah bohong dalam beristigfar dan tidak ada faedah dalam istigfarnya.
Jika anda menginginkan keluasan rezki dan kemakmuran hidup, maka bersegeralah beristigfar, baik dengan ucapan atupun perbuatan, jangan hanya mencukupkan istigfar dengan lisan saja, karena itu adalah prilaku para pembohong.
Ketiga: Tawakal kepada Allah SWT.
Dan diantara sebab yang mendatangkan rezki adalah: tawakal kepada Allah SWT, 

Allah berfirman: 

" وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً " (الطلاق:3) 


“ Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (At-Talak: 3). Maka barang siapa hatinya senantiasa terkait dengan Allah SWT dalam usaha memperoleh manfaat dan menolak madharat, menyerahkan semua urusan kepada-Nya, niscaya Allah SWT akan menghilangkan darinya apa yang menggelisahkanya dan sirnalah apa yang menyusahkanya dan Dia memberinya rezki dari arah yang sempit atas manusia.
Dan Nabi saw bersabda: 


" لو أنكم توكلون على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير، تغدو خماصاً، وتروح بطانا " رواه أحمد والترمذي وصححه الألباني 


“ Kalau sekiranya kalian bertawakal kepada Allah SWT dengan tawakal yang sebenarnya, niscaya Dia akan member kalian rezki yang sebagaimana Dia memberi rezki kepada burung yang pergi di waktu pagi dengan perut kosong dan pulang di waktu sore dalam keadaan kenyang” ( HR: Ahmad dan Tirmizi, disahihkan oleh Al-Bani).
Ibnu Rajab mengatakan: ” Hadits di atas adalah landasan dalam masalah tawakal, ia (tawakal) adalah termasuk sarana yang teragung yang dapat menjadi sebab diturunkanya rezki.” Para salaf mengatakan: “ Bertawakalah, niscaya akan digiring kepadamu berbagai rezki dengan tanpa beban dan keletihan.”
Tawakal kepada Allah SWT adalah menampakan kelemahan dan bergantung kepada-Nya semata, dengan keyakinan bahwa tidak ada zat yang dapat berbuat di jagat raya melainkan Allah SWT, dan bahwa setiap yang ada; makhluk, rezki, pemberian dan pelarangan, madharat dan manfaat, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat, mati dan hidup dan segala yang bereksistensi adalah dari Allah SWT semata.
Hakikat tawakal sebagaimana yang dikatakan Ibnu rajab adalah: kejujuran hati dalam bergantung kepada Allah SWT dalam mencari manfaat dan menghindari madharat dalam urusan dunia maupun akhirat, menyerahkan segala urusan kepada-Nya serta mengimani bahwasanya tidak ada yang dapat memberi dan menolak, memberi manfaat atau menimpakan madharat melainkan Dia.
Tawakal kepada Allah tidak berarti meninggalkan usaha, karena Allah SWT memerintahkan agar melakukan usaha disamping tawakal, usaha dan menjalankan sebab-sebab adalah bentuk ketaatan kepada-Nya, adapun tawakal dengan hati adalah bentuk keimanan kepada-Nya, 

sebagaimana Allah berfirman: 

" يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعاً " (النساء:71) 


“ Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah ( ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama. ( An-Nisa’: 71).
Dan berfirman: 


وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ )الأنفال:60) 


“ Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang.” (QS: Al-Anfal: 60) 


وقال: فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيراً لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون (الجمعة:10) 


“ Apabila telah ditunaikan sembayang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS: Al-Jumu’ah: 10)
Seorang muslim dituntut untuk melakukan usaha dengan tidak bergantung kepadanya, tetapi meyakini bahwa segala urusan adalah milik Allah, dan bahwa rezki itu dari-Nya semata.
Keempat: Silaturahim
Dan diantara sebab-sebab yang mendatangkan rezki juga adalah silaturahim, banyak hadits yang menunjukan itu, diantaranya: 


عن أبي هريرة قال: سمعت رسول الله يقول: ((مَنْ سَرَّه أن يبسط له في رزقه، وأن ينسأ له في أثره؛ فليصل رحمه )) (رواه البخاري) 


“ Dari Abu Hurairah semoga Allah meridhoinya, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “ Barangsiapa ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menjalin silaturahim” ( HR: bukhari). 


وعن أنس بن مالك أن رسول الله قال: (( مَن أَحب أن يُبسط له في رزقه، وينسأ له في أثره؛ فليصل رحمه)) (رواه البخاري) 


“ Dan dari Anas bin Malik semoga Allah meridhoinya, bahwasanya Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa ingin diluaskan rezkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaknya ia menjalin silaturahim” (HR: Bukhari).
Imam Bukhari mengkhususkan dua hadits di atas dalam bab orang yang diluaskan rezkinya melalui silatirahim.


وعن أبي هريرة أن النبي قال: تعلّموا من أنسابكم ما تصلون به أرحامكم، فإن صلة الرحم محبةٌ في الأهل، مثراةٌ في المال، منساةٌ في العمر . (رواه أحمد وصححه الألباني) 


“ Dan dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhoinya- bahwasanya nabi saw bersabda: pelajarilah nasab-nasab kalian agar kalian dapat menjalin silaturahim, karena silaturahim dapat membawa kecintaan kepada keluarga, menambah harta dan memperpanjang umur. (HR: Ahmad dan disahihkan Al-Albani).


وعن علي بن أبي طالب أن النبي قال: مَنْ سرَّه أن يمدَّ له في عمره، ويوسَّع عليه في رزقه، ويدفع عنه ميتة السوء؛ فليتق الله، وليصل رحمه. (رواه أحمد وصحح إسناده الشيخ أحمد شاكر) 


“ Dari Ali bin Abi Talib –semoga Allah meridhoinya- bahwasanya Nabi saw bersabda: “ Barang siapa yang senang untuk dipanjangkan umurnya, diluaskan rezkinya, dihindarkan dari kematian yang buruk, maka hendaklah bertakwa kepada Allah dan menjalin silaturahim.” (HR: Ahmad, dan sanadnya disahihkan oleh Syekh Ahmad Syakir).
Abdullah bin Umar –semoga Allah meridhoinya- mengatakan: “ Barang siapa bertakwa kepada Tuhanya, menjalin silaturahim, niscaya dipanjangkan umurnya, ditambah rezkinya dan dicintai keluarganya.
Melalui hadits-hadits ini, Nabi saw menjelaskan bahwa silaturahim membuahkan banyak faedah yang baik diantaranya; keluasan rezki, panjang umur, menghindari kematian yang buruk, dan ia adalah sebab yang mendatang kecintaan keluarga terhadap pelakunya.
Siapakah yang dimaksud rahim/ar’ham?, bagaimana cara menjalin silaturahim dengan mereka?
Rahim/ar’ham adalah kerabat, mereka orang-orang yang ada ikatan nasab dengan anda, baik anda bagian dari ahli waris mereka atau tidak, dan ada hubungan mahram atau tidak.
Silaturahim dengan mereka dapat dilakukan dengan banyak cara, diantaranya; berkunjung, memberi hadiah, menanyakan tentang mereka, melihat kondisi mereka, bersedekah kepada yang fakir diantara mereka, lembut dengan yang kaya dan menghormati yang besar, atau dengan mengundang mereka dan meyambutnya dengan sebaik-baik sambutan, ikut serta dalam kegembiraan dan berbagi dalam kesedihan mereka, sebagaimana bisa juga dengan cara mendoakan mereka, berlapang dada, memenuhi undangan, menjenguk yang sakit, menunjukan mereka jalan kebenaran, mengajak mereka kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, bisa juga silaturahim dengan mereka melalui harta; membantu dalam memenuhi kebutuhan mereka, menghilangkan kesusahan dari mereka, bermuka ceriah dihadapan mereka dsb.
Kelima: Infak di jalan Allah SWT.
Banyak dalil dari kitab maupun sunah menunjukan bahwa infak di jalan Allah SWT termasuk diantara sebab yang dapat mendatangkan rezki, 

diantaranya firman Allah: 

قُلْ إِنَّ رَبِّي يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَيَقْدِرُ لَهُ وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (سبأ:39). 


“ Katakanlah: “ sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-nya dan menyempitkan bagi (siapa yang dikehendakinya)”, dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah pemberi rezki yang sebaik-baiknya. (QS: Saba’: 39).


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ وَلَسْتُمْ بِآخِذِيهِ إِلَّا أَنْ تُغْمِضُوا فِيهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (267) الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلاً وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (البقرة:267، 268).


“ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.“ (QS: Al-Baqarah: 267-268).
Ibnu Abas mengatakan: “ Dua perkara dari Allah dan dua dari setan,“ Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan“ seraya mengatakan: Jangan kamu infakan hartamu, biarkan ia menumpuk karena kamu akan membutuhkanya, “ Dan menyuruh kamu berbuat kejahatan“. “ Sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya“ atas kemaksiatan-kemaksiatan itu,“ Dan karunia“ dalam rezki “. Ampunan adalah perlindungan atas hamba-hamba-Nya di dunia dan di akhirat, sedang karunia adalah keluasan rezki di dunia dan di akhirat serta kenikmatan di akhirat.
Dan diantara dalilnya adalah sabda Rasulullah saw: 


" قال الله تبارك وتعالى: يا ابن آدم، أنفق أنفق عليك " ( رواه مسلم) 


“ Allah SWT berfirman: Wahai ibnu Adam, berinfaklah, niscaya Aku akan memberi nafkah kepadamu“ ( HR: Muslim). 


" ما من يوم يصبح العباد فيه إلا ملكان ينزلان فيقول أحدهما: اللهم أعط منفقاً خلفاً، ويقول الآخر: اللهم أعط ممسكاً تلفا " ( رواه البخاري ) 


“ Tiada pagi hari bagi hamba melainkan turun pada saat itu dua malaikat, salah satu dari mereka mengatakan: Ya Allah, berilakanlah kepada orang yang menginfakan (hartanya) penggantinya, yang kedua mengatakan: Ya Allah berikanlah kepada orang yang enggan berinfak kerusakan (atas hartanya).” (HR: Bukhari).
Dan sabda Rasul saw: 


“ أنفق يا بلال، ولا تخش من ذي العرش إقلالاً ) “ رواه البيهقي وصححه الألباني( 


“ Berinfakanlah ya Bilal, jangan khawatirkan kekurangan dari Sang Pemilik Arsy“.
Semua hadits di atas mengajak berinfak di jalan kebaikan, dan menyampaikan kabar gembira tentang akan diberikanya pengganti (atas harta yang diinfakan) dari karunia Allah SWT bagi orang yang berinfak, serta mengangkat kedudukannya di segenap hati manusia.
Keenam: Mengerjakan haji dan umrah secara berurutan.
Mengerjakan haji dan umrah secara berurutan termasuk diantara sebab yang mendatangkan keluasan rezki dan kemudahan urusan, dari Ibnu Mas’ud r.a. ia berkata: 

Rasulullah saw bersabda: 

" تابعوا بين الحج والعمرة، فإنهما ينفيان الفقر والذنبوب كما ينفي الكير خبث الحديد والذهب والفضة، وليس للحجة المبرورة ثواب إلا الجنة " (رواه الترمذي والنسائي وصححه الألباني ) 


“ Laksanakanlah haji dan umroh secara beriringan, karena ia dapat menghapus kefakiran dan dosa sebagaimana api melenyapkan karatan besi, emas dan perak, dan tidak ada balasan atas haji mabrur melainkan surga.”( HR: Tirmizi dan Nasa’I, dan disahihkan Imam Al-Bani). 


" تابعوا بين الحج والعمرة، فإنهما ينفيان الفقر والذنوب كما ينفي الكير خبث الحديد " ( رواه النسائي وصححه الألباني) 


“ Laksanakanlah haji dan umroh secara beriringan, karena ia dapat menghapus kefakiran dan dosa sebagaimana api melenyapkan karatan besi, emas dan perak.” (HR: Nasa’I dan disahihkan Al-Bani).
Melakukan secara beriringan antara haji dan umrah artinya: jadikanlah salah satu dari keduanya mengiringi yang lain, yakni: jika anda telah menjalankan haji maka lakukanlah umrah, dan jika anda telah menjalankan umrah maka lakukanlah haji, begitulah keduanya terjadi secara beriringan.
Ketujuh: Berbuat baik kepada orang lemah.
Nabi saw menjelaskan bahwa Allah SWT memberi rezki kepada hamba-hamba-Nya dan menolong mereka disebabkan kebaikan mereka kepada orang-orang lemah, dari Mus’ab bin Sa’ad r.a. berkata: Saad r.a. melihat bahwa dirinya memiliki kelebihan atas orang lain( orang lemah), 

maka Rasulullah saw bersabda: 

" هل تنصرون وترزقون إلا بضعفائكم " (رواه البخاري) 


“ Kalian tidaklah mendapat pertolongan dan rezki melainkan disebabkan oleh orang-orang lemah diantara kalian“ (HR: Bukhari).
Orang-orang lemah yang dijelaskan Nabi saw bahwa berbuat baik kepada mereka dapat menjadi sebab datangnya rezki dan kemenangan terhadap musuh ada beberapa macam: diantara mereka ada kaum fuqara, anak-anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang sakit, orang-orang asing, para wanita yang tidak memiliki orang yang menanggung nafkahnya, dan budak. Bentuk berbuat baik kepada mereka berbeda-beda, berbuat baik kepada orang fakir yang tidak memilki harta dengan sedekah, hadiah, pemberian dan pertolongan, berbuat baik kepada anak yatim dan wanita (yang tidak memiliki orang yang menanggung nafkahnya) dengan memantau kondisi mereka dan membantu mereka dengan cara yang baik, sedang berbuat baik kepada orang-orang sakit dengan menjenguk mereka dan menganjurkan agar sabar dan senantiasa mengharap ridho-Nya... dan begitu seterusnya.
Wahai saudaraku tercinta, jika anda mengingkan kemenangan Allah SWT dan pertolongan-Nya serta keluasan rezki, maka berbuat baiklah kepada kaum lemah, muliakanlah mereka dan pantaulah kondisi mereka, dan ketahuilah bahwa berlaku buruk dan menyakiti mereka adalah sebab tertutupnya pintu rezki, dan dalam kisah para pemilik kebun yang Allah SWT ceritakan dalam surat al-qalam terdapat pelajaran dan nasehat yang berharga.
Kedelapan: Totalitas dalam ibadah. 


عن أبي هريرة عن النبي قال: إن الله تعالى يقول: يا ابن آدم، تفرغ لعبادتي أملاً صدرك غنى، واسد فقرك، وإن لا تفعل ملأت يدك شغلاً، ولم أسد فقرك " (رواه الترمذي وابن ماجه وصححه الألباني) 


“ Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, ia bersabda,“ Sesungguhnya Allah SWT berfirman,“ Wahai anak Adam, totalitaslah dalam beribadah, niscaya Aku akan memenuhi dadamu dengan kekayaan dan menutup kefakiranmu, dan jika kamu tidak melakukanya, maka Aku akan memenuhi tanganmu dengan kesibukan dan menutup kefakiranmu.“ (HR: Tirmizi dan Ibnu Majah, disahihkan oleh Al-Bani). 


وعن معقل بن يسار قال: قال رسول الله : يقول ربكم تبارك وتعالى: يا ابن آدم، تفرغ لعبادتي أملأ قلبك غنى، وأملأ يديك رزقاً. يا بان آدم، لا تباعدني فأملأ قلبك فقرا، وأملأ يديك شغلاً " (رواه الحاكم وصحح إسناده ووافقه الألباني) 


“ Dan dari Ma’qal bin Yasar r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda," Allah SWT berfirman,” Wahai anak Adam, totalitaslah dalam beribadah, niscaya Aku akan memenuhi hatimu dengan kekayaan dan kedua tanganmu denganmu rezki. Wahai anak Adam, janganlah engkau menjauhiku maka Aku memenuhi hatimu dengan kefakiran dan kedua tanganmu dengan kesibukan.” (HR: Hakim, dengan sanad disahihkan olehnya dan disepakati Al-AlBani).
Di dalam kedua hadits ini Allah SWT menjanjikan orang-orang yang totalitas dalam ibadah dengan dua hal, yaitu; memenuhi hatinya dengan kekayaan, kedua tangannya dengan rezki, dan mengancam orang yang enggan bertotalitas dengan dua sangsi, yaitu: memenuhi hatinya dengan kefakiran dan kedua tanganya dengan kesibukan, dan kita yakin jika Allah SWT telah mengkayakan hati seseorang, maka selamanya ia tidak akan pernah didekati kefakiran, dan jika Allah SWT memenuhi tanganya dengan rezki, maka selamanya ia tidak akan pernah merugi.
Totalitas dalam beribadah tidak berarti meninggalkan mata pencaharian dan terputus dari mencari rezki serta duduk di masjid siang dan malam, akan tetapi maksudnya adalah hendaklah seorang hamba datang dengan hati dan jasadnya saat beribadah, khusu‘ dan tunduk kepada Allah, menghadirkan keagungan penciptanya, merasakan bahwa ia sedang bermunajat kepada Sang penguasa langit dan bumi.
Dan berikut ini beberapa sebab yang mendatangkan rezki selain yang di atas, dan akan saya sebutkan dengan singkat:
Kesembilan: Hijrah dijalan Allah SWT.
Allah SWT berfirman: 


" وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الْأَرْضِ مُرَاغَماً كَثِيراً وَسَعَةً " (النساء:100) 


“ Barang siapa hijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas, dan rezki yang banyak.“ ( QS: An-Nisa‘: 100).
Ibnu Abbas dan ulama lainya mengatakan:“ وَسَعَةً” artinya; keluasan rezki. Imam Qatadah mengatakan: maknanya adalah; keluasan dari kesesatan kepada petunjuk, dan dari kefakiran kepada kekayaan.
Kesepuluh: Jihad di jalan Allah.
Sabda Rasul saw: 


" وجُعل رزقي تحت ظل رمحي " (رواه أحمد) 


“ Dan dijadikan rezkiku dari bawah tombaku” ( HR: Ahmad).
Kesebelas: Bersyukur kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman: 


" وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ " 


“ Dan ( ingatlah juga), tatkalah Tuhanmu mema’lumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatku), maka azabku sangat pedih.” (QS: Ibrahim: 7). Allah SWT mengaitkan bertambahnya rezki dengan bersyukur, dan bertambahnya rezki tidak ada habisnya. Umar bin abdul Aziz berkata: “ Mereka mengaitkan Datangnya nikmat Allah dengan bersyukur kepada-Nya, Syukur adalah syarat datangnya kenikmatan dan sebab bertambahnya rezki.
Kedua belas: Nikah
Allah SWT berfirman: 


" وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ " 


“ Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.“ ( QS: An-Nur: 32). Umar bin Khatab pernah mengatakan: “ Orang yang enggan mencari kekayaan melalui nikah itu aneh, padahal Allah SWT mengatakan: 


" إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ "

“Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.“
Kedua belas: Berlindung kepada Allah saat mengalami kemiskinan.
Rasulullah saw bersabda: 


" من نزلت به فاقةٌ فأنزلها بالناس لم تسد فاقته، ومن نزلت به فاقة فأنزلها بالله فيوشك الله له برزق عاجل أو آجل " (رواه الترمذي وصححه الألباني) 


“ Barang siapa menderita kefakiran lalu berlindung kepada manusia, maka itu tidak akan menutup kefakiranya, dan barang siapa mengalami kefakiran, lalu ia berlindung kepada Allah SWT, maka Allah akan memberinya rezki dengan segera atau tertunda.“ ( HR: Tirmizi, disahihkan Al-Albani).
Keempat belas: Meninggalkan maksiat dan istiqamah di jalan agama Allah dan menjalankan ketaatan.
Ini adalah ringkasan dari seluruh sebab di atas, di mana rezki tidak akan diberikan kecuali melalui ketaatan, dan tidak dilenyapkan kecuali disebabkan maksiat dan dosa, dan sungguh seorang hamba akan tercegah dari mendapatkan rezki dikarenakan dosa yang menimpanya, maka dosa dan maksiat adalah sebab terbesar yang dapat menutup pintu rezki atas pelakunya, mempersempit kemampuan dan mempersulit sumber penghidupanya serta menghalangi keberkahan dari kehidupanya. 

Allah SWT berfirman: 

 وَأَلَّوِ اسْتَقَامُوا عَلَى الطَّرِيقَةِ لَأَسْقَيْنَاهُمْ مَاءً غَدَقاً ] الجن: 16] 

“ Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu ( agama islam), benar-benar kami akan memberi air yang segar ( rezki yang banyak). (QS: Jin: 16). Maksudnya jika mereka istiqomah di atas jalan kebenaran, iman dan petunjuk, dalam keadaan mereka beriman dan taat, niscaya kami berikan mereka kemudahan di dunia dan kami luaskan rezkinya.
Saudaraku yang tercinta, sesungguhnya maksiat itu dapat menghapus kenikmatan yang ada dan memutus kenikmatan yang berikutnya,, apa yang ada di sisi Allah SWT tidak didapatkan kecuali dengan ketaatan, dan Dia telah menjadikan bagi segala sesuatu sebab yang mendatangkanya dan sebab yang melenyapkanya, Dia menjadikan ketaatan sebagai sebab yang mendatangkan nikmat-nya dan kemaksiatan sebagai sebab yang melenyapkan atau mencegahnya, jika kamu menghendaki keluasan rezki dan kehidupan yang makmur, maka tinggalkan kemaksiatan dan dosa, karena itu akan menghapus keberkahan dan melenyapkan rezki.
Demikianlah sebab sebab yang yang mendatangkan rezki yang dapat kami rangkum, jika ada kebaikannya, maka sesungguhnya itu semata-mata dari Allah SWT, dan jika sebaliknya, itu bersumber dari hawa nafsu dan setan, kita memohon taufik dan kebenaran dari-Nya, dan semoga salawat serta salam senantiasa tercurah untuk Nabi kita Muhamad, keluarga dan sahabat-Nya semua. 


Penulis : Departemen Ilmiyah Darul Wathan
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad - Zulfi Askar
Terbitan : Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah

Artikel : www.islamhouse.com

Rahasia Sunnatullah

Dalam sebuah pengajian di Masjid Konsulat Jenderal RI (KJRI) di Los Angeles, seorang bertanya mengenai beberapa Negara yang tadinya lemah, tetapi kerana kerja keras mereka kini menjadi bangkit. Seperti Korea dan Jepang. Padahal mereka dalam pengelolaan sitem bernegara tidak pernah mengatasnamakan syariah. Demikian juga negara-negara maju lainnya di Eropa maupun di Amerika. Sementara umat Islam hanya berteriak syariah, tetapi mereka belum bangkit-bangkit.
Di manakah yang salah?
Memang pertanyaan seperti ini kerap kali muncul. Kalau tidak diimbangi dengan keimanan yang kuat dan pemahaman yang luas, bisa saja seseorang salah paham, lalu tiba-tiba ia keluar dari Islam. Sebab pada kenyataannya banyak negara umat Islam yang tidak berdaya dan tidak berwibawa. Bahkan mereka tidak sanggup menyelesaikan persoalan mereka sendiri secara internal. Lalu bagaimana cara menjawab pertanyaan seperti ini?
Saya jelaskan bahwa di alam ini ada dua sistem: Pertama, sistem yang didisain secara khusus untuk mengatur jalannya segala wujud, sehingga semuanya berjalan dengan rapi dan terartur. Ini disebut dengan sunnatullah, dan para ilmuan sering menyebutnya dengan istilah hukum alam. Kedua, sistem yang diturunkan melalui wahyu, untuk mengatur dan menuntun bagaimana manusia hidup di muka bumi sehingga tidak bertentangan dengan tujuan yang telah Allah swt. tentukan, ini disebut dengan syari’atullah. Adapun mengenai sunnatullah siapa saja yang mematuhinya ia akan mendapatkan manfaat secara duniawi. Tidak ada bedanya antara orang yang beriman maupun yang tidak. Sebab sunnatullah lebih berupa hukum kausalitas (sebab mesabab). Ia bersifat matematis. Siapa yang bersungguh-sungguh dapat manfaatanya. Siapa yang makan, kenyang sekalipun ia tidak beriman, dan yang tidak makan, lapar, sekalipun ia beriman. Dalam hal ini pernah dicontohkan dengan dua tempat. Satunya masjid dan satunya tempat maksiat. Secara sunnatullah tempat maksiat lebih patuh, yaitu di atas bangunan tersebut dipasang penangkal petir. Sementara masjid mengabaikan sunnatullah, dengan anggapan bahwa itu tempat ibadah. Maka tidak perlu diberi penangkal petir. Apa yang terjadi kemudian adalah bahwa tiba-tiba petir menyambar, masjid itu hancur dan tempat maksiat itu tidak.
Di sini menarik untuk dicatat bahwa hidup di dunia tidak cukup hanya dengan patuh kepada syariatullah tetapi juga harus patuh kepada sunnatullah. Islam bukan hanya ikut syariatullah tetapi juga ikut sunnatullah.
Rasulullah saw. tidak hanya mengajarkan shalat dan puasa tetapi juga mengajarkan kejujuran dan keadilan, kerapian, kerja keras, kedisiplinan, kesungguhan menegakkan hukum (sisi yang kedua ini termasuk sunnatullah). Islam tidak hanya melarang tindakan mengabaikan shalat, puasa dan ritual lainnya, tetapi juga melarang sogok menyogok, korupsi, menipu, kedzaliman dan sebagainya. Dalam kenyataan sehari-hari di tengah umat Islam masih banyak yang tidak mengambil Islam secara lengkap. Islam hanya diambil sisi syariahnya (baca: ritualnya) saja. Sementara sunnatullah di lapangan sosial diabaikan. Kebiasaan korupsi, menipu, sogok menyogok, tidak jujur dianggap pemandangan yang biasa. Sementara negara-negara maju, sangat takut dari kebiasaan seperti ini. Setiap tindakan menipu, sogok-menyogok, korupsi dan lain sebagainya, sekecil apapun mereka lakukan, maka akan ditindak secara hukum dengan tegas. Karenanya mereka maju secara keduniaan.
Sementara di sisi lain  kita menyaksikan orang-orang Islam tidak berdaya. Mereka mati dipojok masjid, dan tidak bisa memberikan kontribusi bagi kemanusiaan secara luas. Padahal dalam sejarah Islam, telah terbukti bahwa umat ini pernah memimpin seperempat dunia, dengan kegemilangan sejarah tak terhingga bagi kemanusiaan. Puncaknya di zaman Umar Bin Khatthab lalu di zaman Umar bin Abdul Aziz. Pada zaman itu tidak ada seorangpun yang didzalimi. Umar bin Khaththab pernah mengumumkan bahwa anak bayi dari sejak lahir sampai umur lima tahun, ditanggung oleh negara. Dan ternyata aturan ini kini dipraktikkan di Amerika.
Seluruh pajak pada zaman itu benar-benar disalurkan secara benar. Tidak ada yang diselewengkan. Ditambah lagi dengan kewajiban zakat yang secara khusus disiapkan untuk membantu kemanusiaan. Kareananya pada zaman ke dua Umar tersebut rakyat tidak hanya mencapai puncak kesejahteraan tetapi juga mendapatkan keadilan hukum secara proporsional.
Di negara-negara maju ternyata telah mempraktikkan ini. Mereka hidup di atas pajak. Dan secara tarnsparan pajak-pajak tersebut dikelola dengan benar. Baik untuk pengembangan infra-struktur maupun untuk kebutuhan sosial secara umum. Semakin banyak tuntutan kebutuhan infra-struktur dan sosial semakin mereka tingkatkan pajaknya. Dalam perjalanan yang saya alami ke kota-kota besar di Kanada dan Amerika, saya banyak mendegar cerita bahwa belum pernah di sana ada seorang pasien ditolak masuk rumah sakit karena tidak punya biaya. Para homeless dan jobless (orang-orang yang tidak punya rumah dan tidak punya pekerjaan) mendapatkan tunjangan khusus dari negara berupa tempat tinggal dan kebutuhan makanan. Orang-orang jompo dirawat dan ditanggung oleh negara. Bagi mereka menyelamatkan kemanusiaan adalah hal yang harus diprioritaskan.
Dalam Islam, semua variable dan contoh-contoh tersebut adalah sunnatullah dan syariatullah sekaligus.  Bahwa Islam bukan hanya sibuk mengurus perbedaan pendapat dalam masalah fikih seperti qunut, jumlah rakaat tarawih dan lain sebagainya, melainkan menyelamatkan kemanusiaa adalah juga Islam. Bahwa Islam bukan hanya shalat, dzikir di masjid-masjid, melainkan berkata jujur, menjauhi sogok menyogok, disiplin, bekerja keras, transparansi, tidak koupsi dan lain sebagianya adalah juga Islam.
Kini kita sudah saatnya umat Islam kembali ke fitrhanya semula, seperti yang dicontahkan Rasulullah saw. dan sahabat-sahabatnya, serta penurusnya dari para tabi’in yang salih. Fitrah kepatuhan secara komprhensif, bukan parsial. Fitrah kesungguhan menjalankan syariatullah sekaligus sunnatullah. Sebab hanya dengan langkah ini umat Islam akan kembali berdaya dan memberikan kontribusi terbaik bagi kemanusiaan di seluruh alam (baca: rahmatan lil aalamiin). Wallahu a’lam bishshawab.

Artikel : www.dakwatuna.com

Mengupas Tiga Dalil Syariat

Belakangan ini, ada kecenderungan sebagian umat Islam menjadikan syariat Islam seolah-olah bagaikan obat antibiotik yang dapat menyembuhkan semua penyakit di setiap tempat dan di segala zaman. Mereka berpandangan bahwa syariat Islam itu sempurna sehingga mengatur seluruh aspek kehidupan masyarakat, mulai ibadah, muamalah, sampai sistem pemerintahan.

Klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut selalu diulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Implikasinya adalah syariat islam seakan-akan tidak membutuhkan teori atau ilmu non-syariah. Semua problematika ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum bisa dipecahkan oleh syariat Islam yang telah diturunkan Allah 15 abad yang lampau. Untuk itu, sudah selayaknya dilakukan tinjauan ulang terhadap klaim kesempurnaan syariat Islam.

Tiga Dalil

Klaim kesempurnaan di atas biasanya didasarkan pada tiga dalil. Pertama, dalam al-Maidah ayat 3, Allah telah menyatakan, "Pada hari ini, telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridai Islam itu jadi agama bagimu."

Kalimat ini sebenarnya hanyalah penggalan ayat yang sebelumnya berbicara mengenai keharaman makanan tertentu dan larangan mengundi nasib serta larangan untuk takut kepada orang kafir. Karena itulah, konteks ayat itu menimbulkan pertanyaan atas kata "sempurna": apakah kesempurnaan itu berkaitan dengan larangan-larangan di atas atau berkaitan dengan keseluruhan syariat Islam?

Dari sudut peristiwa turunnya ayat, potongan ayat di atas turun pada hari Arafah saat Rasulullah Muhammad menunaikan haji. Karena itulah, sebagian ahli tafsir membacanya dalam konteks selesainya aturan Allah mengenai ibadah, mulai salat sampai haji. Sebagian ahli tafsir menganggap potongan ayat ini turun saat fathu Makkah. Dengan demikian, dikaitkan dengan larangan sebelumnya untuk takut kepada kaum kafir, penggalan ayat "kesempurnaan" tersebut dibaca dengan makna, "Sungguh pada hari ini telah Aku tundukkan musuh-musuh kalian."

Selain itu, sejumlah ulama memandang bahwa kesempurnaan yang dimaksud dalam ayat tersebut terbatas pada aturan halal dan haram. Mereka tidak menganggap bahwa pada hari diturunkannya ayat itu, syariat Islam telah sempurna. Sebab, ternyata setelah ayat tersebut, masih ada ayat Quran lain yang turun, seperti ayat yang berbicara tentang riba dan kalalah.

Kedua, klaim kesempurnaan syariat Islam juga didasarkan pada al-Nahl ayat 89, "Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu." Menurut Mahmud Syaltut, ketika Alquran memperkenalkan dirinya sebagai tibyanan likulli syay’i, bukan maksudnya menegaskan bahwa ia mengandung segala sesuatu, tetapi bahwa dalam Alquran terdapat segala pokok petunjuk menyangkut kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Jadi, cukup tidak berdasar kiranya kalau ayat tersebut diajukan sebagai bukti bahwa syariat Islam mencakup seluruh hal.

Ketiga, dalam al-An’am ayat 38 disebutkan, "Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di dalam al-Kitab." Sejumlah ahli tafsir menjelaskan bahwa Alquran tidak meninggalkan sedikit pun dan atau lengah dalam memberikan keterangan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan tujuan-tujuan pokok Alquran, yaitu masalah-masalah akidah, syariah, dan akhlak, bukan sebagai apa yang dimengerti oleh sebagian ulama bahwa ia mencakup segala macam ilmu pengetahuan.

Sebagian ahli tafsir lainnya menganggap kata "al-Kitab" di atas bukan merujuk pada Alquran, tetapi pada lauh al-mahfuz. Dengan demikian, segala sesuatu terdapat di dalam lauh al-mahfuz, bukan di dalam Alquran.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum, Alquran sebagai sumber utama hanya memberikan pokok-pokok masalah syariat, bukan menjelaskan semua hal secara menyeluruh dan sempurna.

Proporsional

Selain tiga dalil di atas yang sering dipahami secara literal dan sepotong-sepotong, kalangan yang mengklaim kesempurnaan syariat Islam juga sering alpa bahwa jumlah ayat hukum dan hadis hukum sangat terbatas. Di antara yang jumlahnya terbatas itu, hanya sedikit yang berkekuatan qath’i al-dalalah. Dan, hanya itulah yang masuk kategori syariat.

Kalau kita buka kitab fikih, hanya sekitar 20 persen yang berisi syariat. Selebihnya merupakan opini, pemahaman, interpretasi, atau penerapan (tathbiq) yang kita sebut dengan fikih. Isi fikih ini jauh lebih luas ketimbang syariat. Disadari atau tidak, ketika syariat Islam diklaim meliputi segala sesuatu, mereka merancukan antara syariat dan fikih.

Sebagai contoh, kewajiban mendirikan negara Islam tidak terdapat dalam ayat hukum dan hadis hukum secara jelas, langsung dan tegas, serta berkekuatan qath’i al-dalalah. Klaim kewajiban itu lahir dari pemahaman ataupun interpretasi yang telah berlangsung sepanjang sejarah Islam. Menolak kewajiban mendirikan negara Islam tidaklah berarti menolak syariat Islam.

Klaim kesempurnaan syariat Islam juga menimbulkan paradoks. Jika benar segala sesuatu telah terdapat dalam syariat Islam, bagaimana kita meletakkan ijtihad dalam masalah tersebut? Ijtihad justru diperlukan karena syariat Islam tidaklah "sempurna". Masih banyak problematika umat yang tidak diatur secara tegas, pasti, dan jelas dalam Alquran dan hadis.

Di sinilah perlunya kreativitas umat untuk memanfaatkan potensi akalnya. Celakanya, banyak kalangan yang tidak bisa membedakan penafsiran para ulama salaf dan khalaf dalam kitab fikih, kitab syarah hadis, dan kitab tafsir dengan kesucian kitab suci. Mereka menganggap bahwa penafsiran dan pemahaman itu juga termasuk kategori syariat yang tidak bisa diutak-atik.

Selama klaim kesempurnaan syariat Islam tidak didudukkan secara proporsional, umat Islam akan cenderung menolak semua ijtihad baru atau semua teori baru. Setiap terobosan baru akan dianggap mengutak-atik ajaran yang sudah sempurna. Kalau sudah sempurna, untuk apa lagi ada pembaharuan? Untuk itu, marilah kita letakkan secara lebih proporsional klaim kesempurnaan syariat Islam tersebut.

Syariat Islam sesungguhnya hanya mengatur hal-hal yang pokok semata (ushuliyah). Dan, selebihnya adalah penafsiran, termasuk penafsiran yang lebih kontekstual, humanis, plural, dan liberal. **

Nadirsyah Hosen adalah dosen Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=14925
Subject: [islam-muslim] Mengupas Tiga Dalil Syariat

Pengaruh Ibadah Bagi Seorang Muslim

Syariat Islam yang mencakup akidah (keyakinan), ibadah dan mu’amalah, diturunkan oleh Allah Ta’ala dengan ilmu-Nya yang maha tinggi dan hikmah-Nya yang maha sempurna, untuk kebaikan dan kemaslahatan hidup manusia. Karena termasuk fungsi utama petunjuk Allah Ta’ala dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah untuk membersihkan hati dan mensucikan jiwa manusia dari semua kotoran dan penyakit yang menghalanginya dari semua kebaikan dalam hidupnya.
Allah Ta’ala berfirman,

{لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ}

Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, mensucikan (hati/jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur-an) dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS Ali ‘Imraan:164).
Makna firman-Nya “mensucikan (Hati/jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah, serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya (hidayah Allah Ta’ala)[1].
Maka kebersihan hati seorang muslim merupakan syarat untuk mencapai kebaikan pada dirinya secara keseluruhan, karena kebaikan seluruh anggota badannya tergantung dari baik/bersihnya hatinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إلا وإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله وإذا فسدت فسد الجسد كله ألا وهي القلب

Ketahuilah, bahwa dalam tubuh manusia terdapat segumpal (daging), yang kalau segumpal daging itu baik maka akan baik seluruh (anggota) tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk maka akan buruk seluruh (anggota) tubuhnya), ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati (manusia)[2].

Hikmah Agung Disyariatkannya Ibadah

Inilah hikmah agung disyariatkannya ibadah kepada manusia, sebagaimana yang Allah Ta’ala nyatakan dalam firman-Nya,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[3] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Ayat ini menunjukkan bahwa kebaikan dan kemashlahatan merupakan sifat yang selalu ada pada semua ibadah dan petunjuk yang diserukan oleh Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ini sekaligus menjelaskan manfaat dan hikmah agung dari semua ibadah yang Allah Ta’ala syariatkan, yaitu bahwa hidup (bersih dan sucinya)nya hati dan jiwa manusia, yang merupakan sumber kebaikan dalam dirinya[4], hanyalah bisa dicapai dengan beribadah kepada Allah dan menetapi ketaatan kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya r[5].
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – menjelaskan hikmah yang agung ini dalam ucapan beliau,
“Bukanlah tujuan utama dari semua ibadah dan perintah (Allah dalam agama Islam) untuk memberatkan dan menyusahkan (manusia), meskipun hal itu (mungkin) terjadi pada sebagian dari ibadah dan perintah tersebut sebagai (akibat) sampingan, karena adanya sebab-sebab yang menuntut kemestian terjadinya hal tersebut, dan ini merupakan konsekwensi kehidupan di dunia. Semua perintah Allah (dalam agama Islam), hak-Nya (ibadah) yang Dia wajibkan kepada hamba-hamba-Nya, serta semua hukum yang disyariatkan-Nya (pada hakekatnya) merupakan qurratul ‘uyuun (penyejuk pandangan mata), serta kesenangan dan kenikmatan bagi hati (manusia), yang dengan (semua) itulah hati akan terobati, (merasakan) kebahagiaan, kesenangan dan kesempurnaan di dunia dan akhirat. Bahkan hati (manusia) tidak akan merasakan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan yang hakiki kecuali dengan semua itu.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 {يا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَشِفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُورِ وَهُدىً وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ، قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ}

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Katakanlah:”Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS.Yuunus:57-58)[6].
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma sewaktu beliau berkata, “Sesungguhnya (amal) kebaikan (ibadah) itu memiliki (pengaruh baik berupa) cahaya di hati, kecerahan pada wajah, kekuatan pada tubuh, tambahan pada rezki dan kecintaan di hati manusia, dan (sebaliknya) sungguh (perbuatan) buruk (maksiat) itu memiliki (pengaruh buruk berupa) kegelapan di hati, kesuraman pada wajah, kelemahan pada tubuh, kekurangan pada rezki dan kebencian di hati manusia”[7].

Pengaruh Positif Ibadah bagi Seorang Muslim
 
Untuk memperjelas keterangan di atas, berikut ini kami akan sampaikan beberapa poin penting yang menunjukkan besarnya pengaruh positif ibadah dan amal shaleh yang dilaksanakan seorang muslim dalam hidupnya.

1- Kebahagiaan dan kesenangan hidup yang hakiki di dunia dan akhirat

Allah Ta’ala berfirman,

{مَنْ عَمِلَ صَالِحاً مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ}

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh (ibadah), baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik (di dunia), dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka (di akhirat) dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl:97).
Para ulama salaf menafsirkan makna “kehidupan yang baik (di dunia)” dalam ayat di atas dengan “kebahagiaan (hidup)” atau “rezki yang halal dan baik” dan kebaikan-kebaikan lainnya yang mencakup semua kesenangan hidup yang hakiki[8].
Sebagaimana orang yang berpaling dari petunjuk Allah dan tidak mengisi hidupnya dengan beribadah kepada-Nya, maka Allah Ta’ala akan menjadikan sengsara hidupnya di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى}

Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta” (QS Thaaha:124)[9].

2- Kemudahan semua urusan dan jalan keluar/solusi dari semua masalah dan kesulitan yang dihadapi

Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجاً. وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS. ath-Thalaaq:2-3).
Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali dengan menegakkan semua amal ibadah yang wajib dan sunnah (anjuran), serta menjauhi semua perbuatan yang diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[10].
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,

{وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً}

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya)[11].

3- Penjagaan dan taufik dari Allah Ta’ala
 
Dalam sebuah hadits yang shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Abdullah bin Abbas

 ((احفظ الله يحفظك، احفظ الله تجده تجاهك))

Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu[12].

Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepadanya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya[13]. Dan makna “kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu“: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu[14].
Keutamaan yang agung ini hanyalah Allah Ta’ala peruntukkan bagi orang-orang yang mendapatkan predikat sebagai wali (kekasih) Allah Ta’ala, yang itu mereka dapatkan dengan selalu melaksanakan dan menyempurnakan ibadah kepada Allah Ta’ala, baik ibadah yang wajib maupun sunnah (anjuran). Dalam sebuah hadits qudsi yang shahih, Allah Ta’ala berfirman, “Barangsiapa yang memusuhi wali (kekasih)-Ku maka sungguh Aku telah menyatakan perang (pemusuhan) terhadapanya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Ku dengan suatu (ibadah) yang lebih Aku cintai dari pada (ibadah) yang Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (ibadah-ibadah) yang sunnah (anjuran/tidak wajib) sehingga Akupun mencintainya…[15].

4- Kemanisan dan kelezatan iman, yang merupakan tanda kesempurnaan iman

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 ((ذاق طعم الإيمان من رضي بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد رسولاً))

Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabbnya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya[16].

Imam an-Nawawi – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – ketika menjelaskan hadits di atas, berkata, “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa barangsiapa yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman tersebut (secara nyata)”[17].
Sifat inilah yang dimiliki oleh para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang semua itu mereka capai dengan taufik dari Allah Ta’ala, kemudian karena ketekunan dan semangat mereka dalam menjalankan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala.
Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ}

Tetapi Allah menjadikan kamu sekalian (wahai para sahabat) cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan perbuatan maksiat. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS al-Hujuraat:7).

5- Keteguhan iman dan ketegaran dalam berpegang teguh dengan agama Allah

Allah Ta’ala berfirman,


{يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ}

Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ‘ucapan yang teguh’ dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki” (QS Ibrahim:27).

Ketika menafsirkan ayat ini Imam Qatadah[18] berkata, “Adapun dalam kehidupan dunia, Allah meneguhkan iman mereka dengan perbuatan baik (ibadah) dan amal shaleh (yang mereka kerjakan)”[19].
Fungsi ibadah dalam meneguhkan keimanan sangat jelas sekali, karena seorang muslim yang merasakan kemanisan dan kenikmatan iman dengan ketekunannya beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah, maka setelah itu – dengan taufik dari Allah Ta’ala – dia tidak akan mau berpaling dari keimanan tersebut meskipun dia harus menghadapi berbagai cobaan dan penderitaan dalam mempertahankannya, bahkan semua cobaan tersebut menjadi ringan baginya.
Gambaran inilah yang terjadi pada para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keteguhan mereka sewaktu mempertahankan keimanan mereka menghadapi permusuhan dan penindasan dari orang-orang kafir Quraisy, di masa awal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan Islam. Sebagaimana yang disebutkan dalam kisah dialog antara Abu Sufyan dan raja Romawi Hiraql, yang kisah ini dibenarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara pertanyaan yang diajukan oleh Hiraql kepada Abu Sufyan waktu itu, “Apakah ada di antara pengikut (sahabat) Nabi itu (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang murtad (meninggalkan) agamanya karena dia membenci agama tersebut setelah dia memeluknya?” Maka Abu Sufyan menjawab, “Tidak ada“.
Kemudian Hiraql berkata, “Memang demikian (keadaan) iman ketika kemanisan iman itu telah masuk dan menyatu ke dalam hati manusia[20].

Penutup

Beberapa poin yang kami sebutkan di atas jelas sekali menggambarkan kepada kita besarnya manfaat dan pengaruh positif ibadah dan amal shaleh yang dikerjakan oleh seorang muslim bagi dirinya. Masih banyak poin lain yang tentu tidak mungkin disebutkan semuanya.
Semoga tulisan ini menjadi motivasi bagi kita untuk semakin giat dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan ibadah dan ketaatan kepada Allah Ta’ala, serta berusaha untuk membenahi amal ibadah yang sudah kita lakukan selama ini agar benar-benar sesuai dengan petunjuk dan syariat Allah Ta’ala.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 18 Jumadal ula 1430 H

Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, MA
Artikel www.muslim.or.id

Arti Syariat

Syari’at bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.

Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.

Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]

“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah(5):18].

“Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].

Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.

Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).

Sumber : www.dakwatuna.com

;;